Surat untuk Raja
sampul depan

Judul: Surat untuk Raja
Judul Asli: De brief voor de koning
Penulis: Tonke Dragt
Alih Bahasa: Laurens Sipahelut
Tebal: 526 hlm
Ukuran: 14 cm x 21 cm
Umur: +11
ISBN: 978-979-15417-1-8
Harga: Rp 59.500

Tonke Dragt (foto © Mark Sassen) Tonke Dragt, kelahiran Batavia (Jakarta) pada 1930, adalah nama besar dalam kesusastraan Belanda dengan koleksi karya yang telah dianggap satu dengan kebudayaan negara itu. Semasa anak-anak Dragt sempat menghuni kamp konsentrasi Jepang di Cideng. Di sana bakat kepenulisannya justru mekar. Seusai Perang Dunia II ia beserta keluarga hijrah ke Belanda.

Pada 1961 muncul bukunya yang pertama. Ini lantas disusul dengan De brief voor de koning (Surat untuk Raja), yang di Belanda pada 1963 dinobatkan sebagai buku anak-anak terbaik 1962 dan pada 6 Oktober 2004 didaulat sebagai buku anak-anak terbaik Belanda sepanjang 50 tahun terakhir (1955-2004). Pada 1976 ia menerima penghargaan bidang literatur anak-anak dan remaja dari pemerintah Belanda.

Dragt sampai sekarang aktif sebagai penulis dan ilustrator.

"Buku ini mengusung nilai-nilai kebajikan dalam kemasan sederhana." -Christina Suprihatin, harian Kompas

"Dinginnya malam, angkernya hutan belantara dan kewaspadaan, amat jelas tergambar dalam novel terbitan Pena Wormer ini." -Majalah HAI

"... novel ini mampu membuat rasa penasaran yang sangat mendalam bagi para pembacanya." -Wisata-Buku.Com

Epos dari Belanda -Pikiran Rakyat

Kisah tentang Surat untuk Raja -Bali Post

'Banyak bahaya akan mengancammu...'

Tiuri terduduk dengan tegak dan memandang ke jendela. Ia tidak melihat apa pun, tidak ada bayangan orang. Jadi, bisa saja tadi hanya khayalannya. Coba itu betul! Ia tidak mungkin menuruti permintaan suara itu, sekalipun terdengar begitu mendesak. Ia menutup wajah dengan kedua tangan dan berusaha mengusir pergi semua pemikiran dari dalam hatinya. Namun, sekali lagi ia mendengar suara itu. Sangat jelas, walaupun hanya berupa bisikan: ‘Dalam nama Tuhan, bukakan pintu!’

Tiuri melanggar peraturan, yang menyatakan ia tidak boleh berbicara dengan siapa pun pada malam menjelang pelantikannya menjadi kesatria. Ia membuka pintu.
Permintaan yang diajukan kepadanya ternyata tugas penuh mara bahaya. Tiuri diburu Pusu Pengendara Merah yang bermaksud jahat yang mengancam akan membunuhnya. Namun, ia bertekad mengantar surat yang sangat penting itu kepada Raja Unauwen. Pengorbanan Kesatria Hitam Laskar Perisai Putih yang melepas nyawa demi surat itu tidak akan sia-sia....

Di Belanda, De brief voor de koning telah dicetak ulang 28 kali sejak pertama kali terbit pada 1962.

Kalangan pengamat buku anak menilai buku ini sebagai karya abadi yang memiliki semua hal yang mesti dimiliki sebuah buku anak yang bagus. Kisah menegangkan yang menghanyutkan pembacanya, tua maupun muda.

YM Dubes Belanda untuk Indonesia, Dr Nikolaos van Dam, dengan buku 'Surat untuk Raja'. (foto © Pena Wormer) Surat untuk Raja diluncurkan di acara Open Huis Erasmus Huis, Jakarta, pada 1 Desember 2007. Tonke Dragt menulis surat kepada para hadirin dan calon pembaca bukunya di Indonesia yang dibacakan pada saat peluncuran. Kak Seto memberikan kata sambutan. (foto © Pena Wormer)

Pena Wormer mengucapkan banyak terima kasih kepada Yang Mulia Duta Besar Belanda untuk Indonesia Dr Nikolaos van Dam, Direktur Pusat Bahasa Belanda Erasmus Paul Peters, dan Koordinator Pusat Bahasa Belanda Erasmus Kees Groeneboer atas kesempatan yang telah diberikan, dan last but not least kepada Kak Seto atas kehadirannya di acara peluncuran.

Untuk acara pelucuran buku, Tonke Dragt secara khusus menulis surat yang dibacakan pada saat peluncuran, yang bisa dibaca di bawah ini.

Wat een aardige verrassing dat de Indonesische uitgave van mijn boek De brief voor de koning (hier) wordt gepresenteerd in de Nederlandse ambassade te Jakarta. Sungguh kejutan yang menyenangkan bahwasanya buku saya De brief voor de koning diluncurkan (di sini) di Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.
Ik heb een zwak voor ambassades, maar dat heeft te maken met een ander boek (Aan de andere kant van de deur), ik wil het nu hebben over Jakarta. Kebetulan saya mempunyai kisah tersendiri dengan yang namanya kedutaan besar, tetapi itu berkaitan dengan buku saya yang lain (Aan de andere kant van de deur), sekarang saya mau sedikit menulis tentang Jakarta.
Want in Jakarta heb ik het grootste deel van mijn jeugd gewoond, al heette de stad toen Batavia. En al was die nog lang niet de miljoenenstad, de metropool van nu. Sebab di Jakarta ini saya menghabiskan sebagian besar masa remaja saya, walaupun waktu itu Jakarta masih bernama Batavia. Zaman itu ia juga masih jauh dari kota dengan berjuta-juta penduduk, sebuah kota metropolitan, seperti sekarang ini.
Ik ben ruim driekwart eeuw geleden geboren in Batavia. En die plaats bestaat volgens sommigen niet meer, behalve in de herinnering. Maar dat is niet waar. Ik heb een paar plattegronden bij elkaar gezocht, een oude van Batavia en een nieuwe van Jakarta, de laatste in een gids voor reizigers en toeristen. Saya lahir di Batavia kira-kira tiga perempat abad yang lalu. Ada yang mengatakan bahwa tempat itu telah tiada, kecuali dalam kenangan. Itu tidak benar. Saya kumpulkan beberapa denah, satu denah tua Batavia dan satu denah baru Jakarta, dimana yang terakhir itu saya dapatkan dari buku panduan bagi pelancong dan wisatawan.
Ach, ik had graag mijn geboorteland nog eens bezocht, maar het is er nooit van gekomen en nu ben ik te oud voor verre reizen. Maar levendige herinneringen zijn ook wat waard. En op de plattegrond van Jakarta vind ik toch het een en ander dat me bekend voorkomt. Sungguh, rasanya ingin sekali saya mengunjungi kembali tanah kelahiran saya, tetapi sampai sekarang hal itu belum kesampaian dan sekarang saya sudah terlalu berumur untuk bepergian jauh-jauh. Namun, kenangan yang terus hidup dalam ingatan barang tentu berharga juga. Pada denah Jakarta saya masih bisa menemukan beberapa lokasi yang bisa saya kenali.
Ik ben geboren in 1930, in het Tjkini Cikiwi ziekenhuis, en de wijk Cikini bestaat nog steeds, al wordt de naam anders gespeld dan vroeger en een hospitaal is daar ook, al zal dat niet hetzelfde ziekenhuis zijn. Saya lahir pada 1930 di Rumah Sakit Tjikini, dan Kecamatan Cikini rupanya masih ada, walaupun dengan ejaan yang berbeda, dan selain itu juga ada bangunan rumah sakit, tetapi kemungkinan itu bukanlah rumah sakit yang sama.
Dat het grote plein –ongeveer een kilometer in het vierkant– er nog steeds is, had ik eerder gehoord; niet meer Koningsplein maar Lapangan Merdeke, een belangrijk centrum waar veel te zien is wat ik niet ken. Bahwasanya lapangan besar itu –dengan luas kira-kira satu kilometer– masih ada, itu saya tahu; namun, namanya bukan lagi Koningsplein, tetapi Lapangan Merdeka, pusat kota yang cukup penting tempat banyak hal yang bisa dilihat yang sudah tidak saya kenali lagi.
Ook gebouwen die er in mijn tijd al waren. Maar als ik het geheel bekijk, met alle wegen en belangrijke bouwwerken, dan denk ik: Daar zal ik verdwalen. Termasuk bangunan-bangunan yang sudah ada pada masa saya. Tetapi kalau saya memerhatikan keseluruhannya, semua jalan dan bangunan penting itu, batin saya: Saya bakal kesasar di sana.
Ik heb naar de Nederlandse ambassade gezocht, en die bevindt zich als ik me niet heb vergist veel meer naar het zuiden, op een plek waar de stad in mijn jeugd nog lang niet naartoe was gegroeid. Soms maakten we fietstochtjes en als je ten zuiden van het Banjirkanaal kwam was je zo buiten. Maar eerst moest je het kanaal oversteken via de smalle en een beetje griezelige hangbrug… Saya juga mencari Kedutaan Besar Belanda, yang kalau tidak salah terletak agak di selatan, di suatu lokasi tempat kota semasa remaja saya belum berkembang sampai ke sana. Kadang kami jalan-jalan naik sepeda dan setibanya di selatan Banjir Kanal langsung kami sampai keluar kota. Namun, pertama kami mesti menyeberangi kanal lewat jembatan gantung yang kecil dan sedikit membuat waswas itu...
In Batavia heb ik, met enkele onderbrekingen in Surabaja en Nederland, heel gelukkig gewoond, met mijn ouders en twee jongere zusjes. Sommige straten zijn er nog steeds, zoals de Pekalongau weg (wij woonden op nr. 6) en de Besukiweg waar onze school stond. De Tosariweg, mijn laatste adres voor de oorlog heet nu anders; Jalan Dr Kusuma Atmaja. Ook als ik de plattegrond van het moderne Jakarta bekijk zie ik natuurlijk heel andere straten voor me dan die er nu zijn: overal laagbouw met veel tuinen en tuintjes, nergens torenflats en wolkenkrabbers. De twee plantsoenen bij Jalan Dr Kusumu Atmaja (voor mij Tosariweg 13) zijn er ook nog. En is de kerk daar op de plattegrond echt mijn oude Nassaukerkje? Di Batavia, dengan diselingi beberapa kali di Surabaya dan Belanda, saya hidup sangat bahagia bersama orang tua dan dua adik perempuan saya. Beberapa jalan masih ada, seperti Jalan Pekalongan (kami dulu tinggal di No. 6) dan Jalan Besuki tempat berdirinya sekolah kami. Jalan Tosari, alamat rumah terakhir saya sebelum perang, sekarang bernama lain; Jalan Dr Kusuma Atmaja. Saat mempelajari denah Jakarta masa kini, saya tentu membayangkan jalan-jalan yang sama sekali lain dari yang ada sekarang: di mana-mana bangunan rendah dan banyak perkarangan besar dan kecil, tanpa ada bangunan apartemen dan pencakar langit. Dua taman umum di Jalan Dr Kusumu Atmaja (atau Tosariweg 13 bagi saya) masih ada. Lantas, betulkah gereja di denah itu Gereja Nassau saya yang dulu itu?
Van het Zuiden naar het Noorden, met de lange weg naar Priok en de Jachtclub aan de kust. Dari Selatan ke Utara, mengikuti jalan yang panjang ke Priok dan Klub Marina di pesisir.
Ik herinner me de zee en ook een schoolreisje naar een van de eilandjes in de baai. Saya masih ingat dengan laut dan juga tamasya sekolah ke salah satu pulau di teluk.
Tussen Noord en Zuid kom ik namen tegen die minder prettige herinneringen oproepen –in de wijken die in de oorlogstijd omheind waren met gedek en kawat (= bamboevlechtwerk en prikkeldraad) de Japanse gevangenkampen. Ik zat met mijn moeder en zusjes eerst in kamp Kramat. Het huis waar we met vele families in woonden was best aardig want er was een mooie tuin bij, die grensde aan de ciliwung(rivier) Kramatlaan 15- ik geloof dat die straat nu Kramat 5 heet. Al gauw moesten we verhuizen naar een veel slechter kamp. Ik vond onverwacht op de Jakarta plattegrond het straatje waar we toen woonden Ciudjung nr. 10 vlakbij Cideng Barat (west) en evenwijdig aan Tanah Abang 2 (in mijn tijd laan Trivelli). Di antara Utara dan Selatan saya berjumpa tempat-tempat yang membangkitkan kenangan yang kurang menyenangkan –di dalam daerah-daerah pemukiman yang saat zaman perang dipagari gedek dan kawat, kamp pengasingan Jepang. Saya, bersama ibu dan kedua saudari saya, pertama menghuni kamp Kramat. Rumah yang kami tempati bersama banyak keluarga lainnya cukup nyaman karena dilengkapi kebun yang indah, yang berbatasan dengan Sungai Ciliwung di Kramatlaan 15 –kalau tidak salah jalan itu sekarang bernama Kramat 5. Tidak lama kemudian kami dipindahkan ke kamp yang jauh lebih buruk. Tanpa dinyana di denah Jakarta saya menemukan jalan tempat kami dulu tinggal, yaitu Ciudjung No. 10 dekat Cideng Barat dan sejajar dengan Tanah Abang 2 (zaman saya, Laan Trivelli).
In Japans Kamp Cideng schreef ik 13 jaar oud, mijn eerste verhaal –niet eens een verhaal maar een heel boek! Samen met een even oud vriendinnetje. We schreven met zijn tweeen. En ik maakte er de illustraties bij.Wij waren dol op lezen maar veel boeken waren er niet in het kamp, dus besloten we er zelf maar een te maken. Dat heeft heel wat tijd en moeite gekost! Di Kamp Jepang di Cideng saya, waktu itu 13 tahun, menulis cerita saya yang pertama –sebetulnya bukan cerita lagi, tetapi satu buku yang utuh! Bersama-sama dengan teman perempuan yang sepantaran. Kami menulis berdua. Dan saya yang menggambar ilustrasinya. Kami berdua doyan sekali membaca, tetapi karena di kamp bukunya sedikit sekali, kami memutuskan untuk membuat saja buku sendiri. Ternyata, itu memakan banyak waktu dan tenaga!
Het papier bedelden we overal bij elkaar. Ook gomden we de met potlood beschreven bladzijden van onze schoolschriften uit. Het bijzondere is dat ons boek AF is gekomen. Het verhaal zelf was niet bijzonder of origineel. Het was wel vol avontuur en veel later viel me op dat de helden als ze gevangen waren altijd wisten te ontsnappen. En ook dat elke maaltijd uitvoerig werd beschreven. Kertasnya kami mengais di sana sini. Buku tulis sekolah yang lembar-lembarnya sudah kami tulisi dengan pensil kami hapus bersih. Yang cukup luar biasa adalah bahwa buku kami benar-benar RAMPUNG. Ceritanya sendiri biasa-biasa saja alias tidak orisinal. Namun, ia sarat petualangan dan jauh di kemudian hari saya menjadi sadar bahwa jika para jagoannya tertangkap mereka selalu bisa lolos. Terus, setiap santapan ditulis panjang lebar.
In Cidengkamp, Batavia, dat wil zeggen ook in de stad Jakarta ben ik dus als schrijver begonnen. Al wist ik toen nog niet dat het mijn beroep zou worden. Wel besefte ik hoe leuk het is verhalen te vertellen, schriftelijk of mondeling, en daarmee anderen te boeien. Een van mijn fantasielanden uit die tijd –Babina– is zelfs terug te vinden in mijn eerste echt gedrukte boek, Verhalen van de tweelingbroers uit 1961. Meer fantasielanden zouden volgen zoals de Rijken van Dagonaut en Unauwen. Maar daarover later. Jadi di Kamp Cideng, Batavia, artinya di kota Jakarta, saya memulai perjalanan saya sebagai penulis. Walaupun pada saat itu saya belum tahu bahwa itu akan menjadi profesi saya. Namun, saya menyadari betapa asyiknya mengisahkan cerita, secara lisan atau pun tulisan, dan dengan cara itu memikat perhatian orang. Salah satu negeri khayalan saya pada zaman itu –Babina– bahkan bisa ditemukan kembali dalam buku benaran saya yang pertama, Verhalen van de tweelingbroers (Hikayat si Kembar) yang terbit pada 1961. Lebih banyak negeri khayalan menyusul setelah itu seperti Kerajaan Baginda Dagonaut dan Unauwen.
Drie concentratiekampjaren. Mijn moeder, zusjes en ik in vrouwenkampen, mijn vader ergens anders, krijgsgevangen, we hadden geen flauw idee waar? Tiga tahun di kamp konsentrasi. Ibu saya, saudari-saudari saya, dan saya sendiri di kamp perempuan, ayah saya di tempat lain, sebagai tawanan perang, entah di mana.
Wat gelukkig waren we toen we hem in 1945 terugzagen en onze familie weer compleet was. De kampjaren hebben de fijne herinneringen aan mijn jeugd niet bedorven. Alangkah bahagianya kami ketika kami berjumpa kembali dengan ayah pada 1945 sehingga keluarga kami lengkap kembali. Tahun-tahun di kamp itu tidak menodai kenangan indah masa remaja saya.
Ik noem daarbij ook de uitstapjes buiten Batavia, naar de plantentuin in Bogor (Buitenzorg) en verder weg de bergen in, naar de Puncak en Situgunung… Soal kenangan masa remaja saya, maka perlu juga saya menyebutkan acara jalan-jalan keluar Batavia, ke kebun raya di Bogor (Buitenzorg) dan terus lagi ke pegunungan, ke Puncak dan Situgunung…

Ook na de oorlog, na een kort verblijf in Nederland heb ik met mijn familie in Batavia gewoond. Wij wisten toen dat het niet lang meer Batavia zou blijven. De straat waar ons huis stond – Jalan Jawa seratus dua (Javaweg 102) met tjeramabomen langs het tuinpad – had voor die tijd tamelijk druk verkeer. Die weg is nu vast en zeker heel erg druk, lang en breed, een echte verkeersader, op de fotos indrukwekkend en onherkenbaar: Jalan HOS Cokroaminoto!

Pun setelah perang usai, setelah sempat hijrah ke Belanda sebentar, saya beserta keluarga menetap di Batavia. Waktu itu kami tahu bahwa Batavia akan berganti nama. Jalan tempat rumah kami berdiri –Jalan Jawa 102, dengan pohon-pohon cemara sepanjang jalan setapak perkarangan– untuk zaman itu cukup ramai dilalui lalu lintas. Hari ini, jalan itu pastinya amat sangat padat, panjang dan lebar, sebuah jalan arteri tulen, yang di foto-foto tampil cukup mengesankan dan tidak bisa dikenali lagi: Jalan HOS Cokroaminoto!
Toch is Jalan Besuki er nog steeds een zijstraat van, maar mijn oude school zal er wel niet meer zijn. Ik ging overigens toen naar de HBS (middelbare school) aan het Koningsplein/ Merdekaplein Oost. Namun, Jalan Besuki masih menjadi cabang jalan dari Jalan HOS Cokroaminoto, tetapi sekolah lama saya kemungkinan sudah tidak ada. Zaman itu saya bersekolah di HBS (sekolah menengah) di Koningsplein/ Lapangan Merdeka Timur.
Later omstreeks 1950, weer in Holland schreef ik brieven naar een adres in Jakarta. Mijn vader had daar nog steeds zijn werk en is enkele jaren langer gebleven. Ik stuurde hem ook tekeningen want intussen zat ik op de Academie van Beeldende Kunsten in Den Haag. Met nog steeds vaak heimwee naar het land van mijn jeugd. Di kemudian hari, pada 1950, ketika saya kembali di Belanda, saya menulis surat-surat ke Jakarta. Ayah masih bekerja di sana dan ia tinggal di sana selama beberapa tahun lagi. Saya juga mengirimkan gambar-gambar sebab saat itu saya kuliah di Academie van Beeldende Kunsten (Akademi Seni Rupa) di Den Haag. Masih acap kali dengan rasa rindu kepada negeri masa remaja saya itu.
Als tekenares en als schrijfster maakte ik graag landkaarten en beschrijvingen van landen die ik verzon of nog beter uitgedrukt die ik ontdekte. Misschien omdat ik bij twee verschillende landen hoorde, van beide hield, maar me nooit in een van de twee geheel en al compleet thuis voelde… Sebagai penggambar dan penulis saya gemar membuat peta dan tulisan dari negeri-negeri yang saya karang atau, yang lebih tepat, yang saya temukan. Barangkali karena saya menjadi bagian dari dua negara yang berbeda, yang dua-duanya saya cintai, namun yang di satu pun saya tidak pernah benar-benar merasa betah...
In mijn fantasien heb ik echter nooit bedacht dat de jeugd van mijn geboortestad en land de gelegenheid zou krijgen met enkele van mijn (trouwens heel reeele) fantasielanden kennis te maken, en met Tiuri, op zijn avontuurlijk reis van Dagonauts land naar het Rijk van Unauwen. Akan tetapi, dalam khayalan-khayalan saya, saya tidak pernah menyangka bahwa anak muda di kota dan negara kelahiran saya berkesempatan untuk berkenalan dengan beberapa dari negeri fantasi saya (yang sesungguhnya cukup riil), dan juga dengan Tiuri, yang bertolak menempuh perjalanan yang penuh petualangan dari negeri Raja Dagonaut ke Kerajaan Baginda Unauwen.
En nu ben ik terug bij waar ik was begonnen, met De brief voor de koning in Bahasa Indonesia, gepresenteerd op de Nederlandse ambassade. Ik wens mijn nieuwe lezers, jong en oud, veel plezierige spanning toe. Dan sekarang saya telah kembali di titik awal, di mana De brief voor de koning dalam versi Bahasa Indonesia diluncurkan di Kedutaan Besar Belanda. Saya mengucapkan pembaca-pembaca baru saya, muda dan tua, banyak keasyikan penuh ketegangan.
En ik groet u allen hier heel hartelijk.

Tonke Dragt

Dan salam hangat dari saya kepada Anda semua di sini.

Tonke Dragt

cv wormer jaya